Selasa, 01 Juni 2010

Pertemuan ke-3

bertempat di rumah Pdt.Kristi


Antara Dogma dan Realita/Bagaimana Orang Jawa Memandang Dogma

Apa jawaban kita bila ditanya, “Siapakah Tuhan?” Berdasar diskusi Setu Paingan yang lalu, orang Jawa akan menjawab berdasarkan pengalamannya, sedangkan orang Barat akan menjawab sesuai definisi yang tersedia – semoga saya tidak salah merangkumkan. Hal ini menunjukkan bahwa orang Jawa (atau orang Timur pada umumnya?) senang memulai sesuatu dari pengalaman. Sedangkan orang Barat berawal dari definisi. Jadi sekarang, bgaimana dengan dogma?

Saya akan memulainya dengan meniru gaya orang Barat: mencari definisinya dulu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Kashiko, dogma berarti ajaran tentang keyakinan atau kepercayaan yang harus dijalankan (diterima) sebagai hal yang baik dan benar (tidak boleh dipersoalkan atau dibantah); keyakinan khusus. Sedangkan menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary, dogma adalah a belief or a set of beliefs held by a group or organization, which others are expected to accept without argument. Dari dua arti itu, saya rumuskan satu frasa kunci mengenai dogma, yaitu “tidak boleh dipersoalkan”. Hal ini menimbulkan kesan yang kaku, tidak ada kemerdekaan bagi penerima ajaran untuk memilih, menelaah, dan menentukan kebenaran atau kesesuaian dari sebuah ajaran.

Bagaimana dengan orang Jawa? Tidak ada kata dogma dalam kamus bahasa Jawa. Satu kata yang menurut saya agak senada adalah pitutur yang berarti piwulang kabecikan, pepeling sarta pamrayoga. Yang menarik dari definisi ini adalah kata pepeling dan pamrayoga. Hal itu menunjukkan bahwa ajaran yang disampaikan bukanlah paksaan, melainkan pengingat dan anjuran/saran. Kesan yang diterima dari definisi ini adalah adanya keluwesan, kemerdekaan bagi setiap orang yang menerima ajaran untuk tetap memilih, menelaah, dan menentukan kebenaran atau kesesuaian dari ajaran itu. Tentu hal ini berbeda dengan dogma tadi.

Berdasar definisi tadi, jika dikaitkan dengan pengalaman yang terangkum dalam diskusi di atas, berarti orang Jawa juga tidak akan suka dengan dogma. Sebab, jika dogma tidak boleh dipersoalkan, bagaimana bila dogma yang ada kurang sesuai dengan pengalamannya? Orang Jawa akan bingung bukan?

Lalu apa tidak perlu ada ajaran sama sekali?

Saya rasa ajaran tetap perlu. Sama halnya, pitutur juga adalah ajaran. Namun ajaran itu tidak sempat menjadi dogma sebab setiap orang yang mendengar diberi kesempatan untuk mendialogkannya dengan diri dan pengalamannya pribadi. Ajaran itu tidak menjadi sesuatu yang tidak boleh dipersoalkan, sebab sifatnya adalah pamrayoga, anjuran.

Saya jadi ingat, pada saat di Jakarta Rabu lalu, saya diminta membaca rencana naskah presentasi Pdt. Yoel dari GKJ Jakarta mengenai intensitas pembacaan Alkitab. Dia menulis mengenai cara yang dipandangnya cukup efektif untuk menambah intensitas pembacaan Alkitab, yaitu model bercerita. Jadi, yang diusulkan bukan model indoktrinasi, melainkan bercerita yang benar-benar dramatis dan membangkitkan imajinasi pendengar. Metode ini dipandangnya membuat anak lebih bisa menangkap makna cerita tanpa harus diarahkan atau digurui secara langsung. Dengan mendengarkan dan berimajinasi, anak akan bisa menangkap nilai-nilai yang dikandung oleh cerita itu.

Rasanya kehidupan orang Jawa juga penuh dengan cerita. Pitutur disampaikan melalui cerita wayang, tembang, dan tarian. Bisa dikatakan, semua berupa pamrayoga. Mau mendengarkan dan mengolahnya membawa pada kebaikan, bila tidak ya sudah. Bahkan kata bapak saya, ada tokoh Togog (semoga tidak salah) yang perannya adalah njlomprongke orang yang sudah tidak bisa dikasih tahu. Selain itu juga digunakan peribahasa atau perumpamaan.

Rasanya, mengingat hal-hal yang dilakukan oleh orang Jawa dalam menyampaikan pitutur mengingatkan akan cara Yesus mengajar, yang sering menggunakan perumpamaan. Yang oleh bapak saya, dalam pertemuan Setu Paingan yang pertama disebut sebagai Yesus berada di atas dan melampaui segala aturan.

Orang sering sibuk memikirkan bagaimana rumusan dogma yang harus diajarkan. Namun orang sering melupakan bahwa orang yang sedang diajar adalah manusia seutuhnya yang juga berhak untuk memiliki pengalaman sendiri dengan Tuhannya dan kemudian mengaktualisasikannya dalam hidupnya.

Nmun saya juga jadi ingat kepada ajaran-ajaran semisal, “Aja lungguh neng lawang, ndak adoh jodho.” Ajaran semacam ini bisa menjadi dogma – tidak boleh dipersoalkan – saat yang mengajarkan tidak tahu makna di dalam ajaran itu. Generasi demi generasi, semakin tidak memahami ajaran itu dan tinggallah menjadi dogma yang mati.
Bagaimana?

Kristi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar