Pertemuan I
2013
Tempat –
ngeban resto
Agama, Jawa dan Pluralisme
Pembicara; Ons Untoro
Yang hadir
- Ons Untoro
- Ibu Endang,
- Samuel HW
- Eigner
- Pdt. Kristi
- Kharis
- Imelda
- Andreas K
- Nanang K
- Rizal H
- Pdt. Raditya
- Eri
Diskusi kali
ini Dibuka oleh Pdt. Raditya dimulai dengan perkenalan.
Dibuka
dengan Kata-kata dari Ons Untoro:
Dulu pernah
ada tahun 80an diskusi kecil-kecilan seperti ini, untuk memberi inspirasi
pemikiran berbeda dai pemikiran yang
diberikan di sekolah/kampus. Diskusi yang menarik untuk menambah pengetahuan
diluar kampus, terutama referensi bagi yang dosenna kurang bacaan juga perlunya
pengetahuan diluar akademis jurusan.
Topik kali
ini berdasar tulisan saya di tahun 2000, tulisan itu lebih lanjutnya di
spesifikkan pada dialog jawa dan islam. Mengangkat bahwa Jawa tidak pernah
habis berdialog dengan agama-agama yang ada sampai sekrang. Walau ada juga
kelompok yang ingin memurnikan agama, namun pada akhirnya tidak bisa bertahan
dan keluar dari Jawa.
Kutipan baik
dari Kiai Sadrach: “Jawa tidak bisa dilupakan dari agama-agama yang datang.”
Ketika
ditarik kembali pada jaman Musa, muncul perintah jangan membunuh, berarti sebelumnya telah terjadi banyak pembunuhan
dan kekerasan sebagai salah satu cara yang diambil untuk menyelesaikan masalah. Juga di Jawa setelah
Hindu Budha ada banyak perpindahan kekuasaan dengan kekerasan. Sampai yang
terakhir pada jaman Mataram (dengan perang). Kekerasan dalam pergantian
kekuasaan bukan lah hal baru, sudah lama di sejarah.
Kemudian hal
yang penting perbedaan menunjukkan identitas. Yakni ada beberapa pihak yang
tidak mau identitas itu timbul. Padahal identitas baru tampak dan diakui karena
ada identitas yang lain. Ketika 30 th orde baru, tidak ada identitas yang
berani muncul karena diseragamkan. Tidak ada yang berbeda. Pembeda hanya dua,
dibedakan berdasar Jawa, non Jawa, Pribumi dan non Pribumi, Islam non Islam,
Indo barat, indo timur, sehingga ada definisi/identitas yang lain akan dianggap
supersif. Malah ketika orde baru, etnis
yang sudah ada jauh sebelum orde baru, etnis tersebut sembunyi karena tidak
dianggap sebgai potensi tapi sebagai masalah. Kemudian baru Gusdur bisa melihat
bahwa perbedaan itu potensi untuk di manage
menjadi sumberdaya.
Kelompok selain yang dominan tidak mau berbeda, maunya jalan sesuai keinginan yang dominan yang seolah-olah
berjalan harmoni. Bahwa yang harusnya
dicari adalah walau berbeda masing-masing tetap menghormati dan bukan berarti
berbeda itu adalah musuhan. Bangsa ini susah untuk menghargai keberbedaan. Baik
bila untuk menghormati yang berbeda dipikirkan ‘mungkin suatu saat kita bertemu’,
(kalau percaya bumi itu bulat suatau saaat pasti bertemu) lalu kemudian dilanjut
dirumuskan pertemuannya dimana?
Hingga pada akhirnya ketemu pada nilai kemanusiaan, dan mencapai
permenungan ketika agama di lawan, karena inti agama adl kemanusiaan. Pernah ada
diskusi tentang agama itu untuk manusia atau manusia untuk agama. Ons: tidak bisa dibedakan, sepeti penari dan gerak,
agama tidak ada kalau tidak ada manusia. Tari gak bisa kalau ga ada gerak.
Pernah di suatu tempat, ada dialog, di Sikep. Bahwa Agama bagi orang
Sikep itu tampak dan sembahyang itu ada saksinya. Jadi bersetubuh bagi orang Sikep
itu sembahyang. Sembhayng itu saksinya istrinya. Juga disitu ketika mandi tanpa
kamarmandi, sumur untuk pemandian, jadi siapa yang mandi telanjang di situ
tidak akan dianggap tabu. Malah menjadi sebagai identitas mereka, bahwa istri
hanya istri dirumah untuk sembahyang tidak berpikir lain-lain walau berbeda
jenis kelamin mandi bersamaan. Sehingga pemikiran mereka tidak kemudian porno. Dan
dari dialog di Sikep itu kemudian muncul bahwa akhirnya pemikiran-pemikiran
yang tidak manusiawi itu yg perlu dibuang, hingga bisa memusatkan pada
sembahyang.
Kemudian tentang masalah Jawane
ilang? Anak muda tidak bisa ngomong jawa. Di kraton, anak muda disana pun juga
ada perubahan. Ketika ada perubahan yg besar mendorong, itu diterima jawa. Karena
tidak selalu yang gak bisa berbahasa jawa itu jawa. Lagi orang luar negri bhs
jawanya mlipis tp apa itu jawa? Bulem tentu yg bisa bhs jawa itu jawa.
Juga bukan soal jumlah (dominan), tapi bagaimana jawa bisa menerima
berbagai nilai, namun tidak hilang, identias jawa. Dan identitas jawa ada karena
ada yg lain. Kalau semua satu berarti semua ini tidak punya perspektif lain.
Identitas ini ada dalam keberagaman. Jadi ketika saat itu MUI tidak boleh ada
pluralisme di indonesia. Berarti cara didiknya yang tidak didikkan keberagaman.
Kalau setiap orang berkapasitas bahwa pemikiran itu bisa berkembang, bukan
berarti ketika ada dialog dengan orang yang lebih senior, yang muda disalahkan.
Tapi pengalaman lebih menentukan. Melihat sesuatu bisa lebih jauh (pengalaman
batin-bacaan-gaul-referensi), perspektif bukan soal baik buruk namun jauh dekat,
kalau jauh bisa memperkaya yang lain. Masalahnya ketika yang deket tidak mau
melihat yang jauh. Dan yang jauh merendahkan yang dekat...
Pandangan
lebih jauh. Yang jauh memberi tahu yang dekat, Yang dekat boleh berhenti atau juga terus
melanjutkan lebih jauh.
Maka kita
tambah pengetahuan dan menjauhkan pandangnan kita , dalam diskusi ini.
Tanggapan dan Diskusi
Kemudian perspektif yang dilihat adalah tidak
mengabaikan yang lain. Meski di jawa praktik-praktik pengibaran identitas pasti
ada kekerasan. Ketika islam masuk dengan kendaraan kekeraasan dan sampai
sekarang, kristen masuk jg pakai kekerasan hingga jamannya misionaris sekarang
ini dengan pemikiran “kita harus mengkristenkan semuanya”, ini juga slah satu
ide menghilangkan identitas. Diluar kekerasan itu ternyata Jawa mengajarkan
apapun diterima, dari yg animisme dinamisme, hindhu, budha, diperbolehkan semua
meninggalkan prasastinya, juga islam, kristen.
Bahkan
menjual kekuasaan dan negara itu sudah dari dulu ada. Bukan jawanya yg menjual
tapi keinginan mendirikan identitas dari satu identitas yang ingin mendominasi.
Dan pada Bahwa jawa sudah mengajarkan bgaimana mengibarkan identitas, carnya.
Tambahan ada
2 kejahatan, yg berujung kematian, tataran erotpa, galileo—mengatakandunia itu
bulat.
Jwa- ketika
diungkapakan cara beragama yg tidak harus seperti yg ada. tulisan abdul munir
Malah
seringkali agma melanggengkan kekerasan.
Juga di
agama kristen yg membawa hal berbeda = mati. Ada konsekuensi yg diterima ketika
memperjuangkan perbedaan. Agar pemikiran
diterima. Disnjung nantinya atau tumbal ehe..
Mari kita
mulai identitas itu ada di banyak hal. Ini dilihat dari cara jawa melihat.
Untuk suatu kasus yang sering terjadi seperti bentrok pada keyakinan
agama dan tradisi budaya. Seperti contoh bagi orang Kristen di suatu jemaat
melakukan sembahyangan peringatan kematian dan yang menyelenggarakan masih
galau tentang tindakannya itu berdosa atau tidak. Karena merasa budaya tradisi
peringtan kematian itu kental, dan tidak bisa dipisahkan, disisi lain takut
berdosa karena masalah agama bilamana ternyata dilarang. Berat menanggalkan
keJawaannya tapi juga ketakutan akan dosa-agama.
Kegalauan itu kemudian ditangkap
di Gereja (GKJ) dan membungkus peringatan nyewu,
100 hari, mendhak sebagai peringatan sekadar memperingati. Berbeda seperti
pada Katholik yang lebih bisa menerima tradis Jawa tersebut. Juga berbeda
dengan di Jawa yang ukurannya pas
atau belum, agama lebih menilai dengan salah dan benar, dosa dan tidak dosa.
Terutama di GKJ, tidak semua bisa menerima. Di suatu tempat yang sudah terbiasa
dengan hal itu oke oke saja melakukan nyewu
sedangkan di gereja yang westernnya
kuat cenderung ditolak.
Tradisi memperingati peristiwa
kematian ini ada pada budaya Jawa, bahkan pada awalnya di agama Islam belum
ada. Namun oleh islam dikembangkan sebagai potensi Syiar dakwah, dan kemudian
ketika Kristen masuk merasa tidak perlu menggunakan cara yang sama dengan
Islam, tapi memilih menggunakan cara lain. Namun dengan jalan lain itu kemudian
di saat kini dipertanyakan lagi, tentang pemaknaannya, apakah jalan lain itu
bermakna atau tidak.
Untuk di
Indonesia, tradisi tentang kematian ini diakui dan dipakai oleh NU.
Di tradisi
Jawa orang hidup itu percaya terhadap sesuatu yang tidak kelihatan, hingga muncul
tradisi tentang kematian. Bahkan peringatan tentang kematian tidak hanya sampai
pada 1000 hari saja, tapi tiap nyadran
dilakukan. Dan kepercayaan ini tidak terbatas pada wujud, tapi suatu yang
dikenal. Seperti Paskah, itu kan juga
memperingati kematian. Bahwa pada paskah juga ada sinkronisasi simbol-simbol
Jawa juga. Dan untuk urusan dosa apa tidak itu urusan pribadi dengan Tuhan.
Jadi bila sudah merayakan itu dan bimbang,
maka perlu dijelaskan bahwa itu bukan perbuatan dosa. Itu masalah ketidak
yakinan pada lingkungan, yang sudah dikenalkan sejak kecil kemudian
ditanggalkan. Menakuti respon masyarakatnya. Namun apabila baik pada
komunitas/lingkungan yang ditinggalkan dan yang di ikuti maka yang terjadi juga
akan baik.
Sprt ktka sy
di malang, ttg pindah agama. Diminta untuk menengahi. Istrinya ditanyai.
Istrinya katholik kl sembahayng pakai caranya (jilababdll) wkt sembayang yg
dipakai bapa kami slmaria. Itu kan soal cara, tp yg penting konten esensinyya.
Yg normatif kan tutup mata, liapt tangan. Hehe.. :3 t da aturan mainnya ketika
di komuniatas. Seperti ketika di mana. Minta jumatan. Di gereja dg kiblat, bukan
altar, hny soal tempat dnn cara. Menghormati bagaimananya toh. Harusny yg
diajarkan substansi nya bukan dosa gak dosa, tp tiap kita yakin dsa udah di
tebus ya yakin apa yg dilakukan.
Ketika
sekolah. Tanya kiamat itu bgmn, dijawab adanya perang, gak toleran dll.. lah kl
gitu malah merdeka kok dijajah gitu. Ketika doa mau babtis, gak hafal, doa bisa
lupa, tp keyakinan tidk bisa hilang. Intinya.
Kebimbangan
belum menyatunya nilai lama dg nilai baru yg belum menyatu jd nilai yg baru.
Bahkan ketika asumsi dasar suatu masyarakat yang sudah terbentuk dan
dianggap benar, hal ini menimbulkan rasa aneh dan baru ketika konflik-konflik
seperti itu hadir.
Seperti di
Karangdowo yang Gereja tidak masalah bila ada acara dengan tradisi Jawa, dan
malah masyarakat bertanya-tanya ketika Gereja melakukan kegiatannya berdasar
tradisi Jawa. Pikir masyarakat gereja kok ikut-ikutan. Beda hal dengan Gereja
Gondokusuman, yang eropah sekali. Bahkan pada saatnya, sunat saja bisa diperdi .
Namun ketika
Jawa terus berdilog dan sulit didefinisikan ciri orang Jawa namun mudah
dikenali, ketika Tahun baru rombongan
Kraton berkunjung ke gereja-gerja malah ditanggpi bahwa adalah suatu kemenangan
Kristen, bisa membawa Kraton dan Kyai masuk gereja. Ketika Jawa masih mau terus
berdialog berarti Jawa berani konfrontasi dengan dunia luar untuk menunjukkan
dialognya. Namun dlam dialog tidak ada kalah-menang. Ketika Kristen menganggap
kemenangan, maka cara berpikirnya yang salah. Dialog adanya dari tidak tau, mau
tau, menjadi tahu. Tidak pas bila berpikir menang kalah, dan cara berpikir dan
menyikapi seperti itu malah membikin konflik. Konsep dialong menang kalah
adalah cara pemikiran politis. Datang/sowan
dinaggap kalah, tinggalah orde baru, ketika Suharto datang, berarti komunitas
itu diakui. Namun esensinya bukan itu, dialog itu saling menguatkan, mengisi.
Dan secara kontinyu dilakukan, hidup akan lebih baik.
Walaupun
kekerasan suda ada dari jaman dulu, perlu adnaya jawaban yg baru pula
menanggapi itu. krn jaman baru, tp masalah lama perlu solusi baru.
Jawa bukan? Atau
jangan jangan oran lain? Kelahiran fisik, sosok fisik jawa namun kelahiran itu
adala proses dari gen-gen bertumpuk yang sudah sulit untuk ditelusur hingga
menghasilkan yang disebut Jawa. Dan perbedaan gen yang bercampur itu membentuk
harmoni sendiri. Makro lagi, alam membentuk harmoninya sendiri. Dan bukannya
kemudian memelih salahh satu gen mana yang akan dianut, tapi memunculkan
eksistensi baru dari perbedaan didalamnya. Berani mengatakan Indonesia diatas
perbedaan yang ada. bahwa identitasnya bisa disebut Indonesia adalah dengan
keragamannya itu bisa dikatakan indonesia.
Identitas-eksistensi,
mengenali bahwa identitas itu tidak tunggal. Dimuali dari alamat, Indonesia,
provinsi mana, kecamatan, kelurahan, dll. Dari Indoensia, Indonesia Jawa, Jawa
Kristen, lagi Jawa Kristen aliran apa. Sehingga mencari yang murni, asli itu
sudah tidak lagi bisa dilacak dan basi.
Namun ketika
kepentingan politik masuk, ejekan-ejekan polik dapat muncul, pemanfaatan
golongan tertenu untuk kemenganan kepentingan politik. Seperti jaman orde baru,
ejekan bahwa Hanya Jawa yang bisa memerintah. Non Jawa, tionghoa bahkan sulit
untuk jadi PNS. Sekarang wakil gubernur DKI bisa tionghoa, kristen pula. Dari undang-undang
daerah yang unik-unik dan purba tidak relevan pada jaman sekarang, hingga
dibalik pemanfaatan orang yang masih berpikiran purba (memboncengi) untuk
kepentingan politik yang lain.
Suatu nama
juga bermakna luas, seperti gereja. Gereja yang adalah ruang yang bisa dihadiri
oleh orang banyak. Seperti Jogja, yang didalamnya ada banyak identitas. Bila nama
itu adalah ruang, maka tidak perlu merujuk pada eropah sana. Karena untuk nama
kosa kata kita ini melimpah, dari sansekerta hingga bahasa Indonesia gaul. Untuk
nama yang (atau ganti menjadi) asing
sebenarnya malah mengasingkan diri dari lingkungan. Karena akan lebih cenderung
menjadi sebuah gengsi.
Untuk semua
perbedaan itu, dan dilihat dari sejarahnya bahwa Jawa mataram sangat kental
akan kekerasan dalam perpindahan kekuasaan. Terlihat bahwa di Jawa adalah
kurang pada pemberdayaan potensi manajemen perbedaan. Ketika perbedaan dilihat
sebagai alat perpecahan, seharusnya dididik untuk melihat perbedaan adalah
potensi untuk dimanajemen sebagai kelebihan dan dipersatukan. Dan menjadi
kekuatan lebih, sebagai nilai jual atau nilai tawar bangsa.
Mencoba
melakukan perubahan bisa sebagai salah satu cara. Dengan melihat kedepan bahwa
akan menghasilkan sesuatu yang baik. Namun dengan fakta bahwa masih ada orang
yang lama di jaman ini, pembicaraan ini menjadi bukan hal yang mudah. Karena kejadiannya
saja presiden yang pluralis saja lengser. Dan itu tantangannya sekarang. Bagi yang
pluralis dan menggebu, malah bisa masuk menjadi pluralis eksklusif.
Bahwa sebagai
pluralis, seharusnya juga mengenal kondisi, ketakutan-ketakutan bagi yang
menginginkan kepentingan lain (politik dll) adalah benar, bahwa mereka
ketakutan dengan plural dan mereka membentengi diri dan memeprsiapkan untuk
melawan. Ketika kita tidak tahu bahwa mereka juga seperti itu, dialog akan
kurang efisien dan malah bisa terpental kembali. Namun dengan mau mengenal
mereka, dan menyentuh titik yang tepat pada mereka, maka dialog juga akan bisa
dilaksanakan. Dialog, bukan cari menang kalah.
Sebagai anak
muda, kita harus bisa memandang visiioner, 30 tahun kedepan bahkan lebih. Garis
besar-garis besar kondisi dan pergerakannya. Sehingga bagi yang tidak mau
mengikuti akan ketinggalan dan yang mau ikut akan dibantu untuk terus maju. Kiblat
kehidupan adala pemuda. Bagi orang lama yang tidak mu lengser itu juga
ketakutan tersendiri bagi orang itu bahwa merasa perannya hilang – mabok jabatan.
Sehingga ketika
kita mau untuk melakukan diskontinuitas kita harus tetap mengenal yang
kontinuitas dahulu dan kemudian baru bisa melompat. Diskontinuitas bahwa mau
tidak mau untuk menggulingkan orang lama, adalah dengan disundul. Supaya mengguling.
Bukan dikepras (ditebang) karena akan bertunas lagi, namun digulingkan. Dengan begitu
tidak ada pondasi lagi untuk melanjutkan orang lama. Dan itu investasi budaya. Dan
investasi budaya paling cepat 20tahun baru bisa dilihat efeknya.
Diskontinuitas
dengan persiapan. Sehingga ketika berdialog dengan yang kontinuitas, bisa
menghasilkan yang lebih. Bisa juga dengan berkunjung balik ke masjid / kraton
ketika mereka mengadakan event-nya
sendiri.
Perbedaan cara
perjuangan ini juga oleh pemuda. Seperti pada perjuangan sebelum 1900 adalah
cenderung perang. Yang sangat bersemangat perang adalah pemuda. Sehingga perjuangan
lepas penjajahan adalah dengan perang. Kemudian diketemukan bahwa itu kurang
efisien dan kemudian dikenal perjuangan diplomasi, itupun dicetuskan oleh
pemuda juga. Ketika pelengseran orde baru, pemuda juga kembali yang mempelopori
dan mengeksekusi. Kini, ketika musuh adalah bangsa sendiri, bangsa yang tidak
mendukung pluralitas, maka haruslah pemuda juga yang mempunyai semangat dan
mengeksekusinya untuk menjadi yang lebih baik, dan hal pertama yang perlu
dilakukan adalah wani, berani.
Ratu Kidul
Panembahan
Senopati ingin melakukan pembangunan pelabuhan di pantai selatan, kemudian
diketemukan bahwa ombak di pantai selatan tidak bisa ditaklukan dan tidak
mungkin menjadi pelabuhan seperti di pantai utara Jawa. Maka Senopati marah,
dan kemudian Ratu Kidul keluar dan menemui. Mereka bercakap dan kemudian
menikah dengan Senopati dan seluruh keturunannya juga.
Cerita itu
memperlihatkan bahwa menaklukan hal yang tidak bisa di apa-apakan (laut kidul) maka
kemudian ditaklukannya secara ilusi. Dan mulai itu dipatenkan Senopati. Sebagai
legitimasi diri dan terlihat muatan-muatan selain budaya ada disitu, dan konsep
ritual dimulai sejak itui menyampaikan itu, dan menikah, dan selueruh
turannannya juga. Di abagaimana menaklukan yg ga bisa diapa2in. seerti laut
sutara yg bisa ditaklukan untuk datang. Menaklukan laut secara ilusi. Mulai
dipatenkan senopati itu.
Sehingga kita
harus bisa mempunyai kesadaran baru. Dengan bisa melihat bahwa pada mulanya
adalah kejadian yang dialami Senopati dan dimasuki kepentingannya. Maka ketika
kesana tanpa ritual ataupun apa, dibilang terkutuk atau aa sudah tidak jadi
malahah lagi. Karena kesadaran sejarah bahwa legenda Laut Selatan yang ganas
bermula pada ketidakmampuan Senopati menaklukkan Laut Selatan. Seperti cerita
Superman yang dibbuat untuk menutupi kekurangan Amerika di Perang Vietnam.
-dalam
rangka mendiskontinuitas dg budaya yg gak baik.-