Rabu, 02 Juni 2010

Bahan Diskusi II

Generasi Pasca-Transmigran
(Transmigrasi dari Jawa ke Sumatera)

Pendahuluan

Generasi pasca transmigran yang saya maksudkan adalah generasi pertama transmigran yang memiliki keturunan (keturunan ke 2 dst) yang lahir di tanah transmigrasi. Transmigrasi mempunyai arti perpindahan jiwa dari satu tempat (asal) ke tempat lain yang bukan asal asli mereka.
Hal ini menjadi menarik untuk saya angkat dalam diskusi ini karena banyak hal seperti proses adaptasi sampai pada transformasi budaya yang membentuk budaya baru pada generasi selanjutnya. Pada dasarnya generasi ke 2 dst, sangat mempertanyakan budaya asli mereka, atau secara singkat mereka mengalami suatu kebingungan akan identitas budayanya karena mereka di lahirkan dan hidup pada dua budaya yang berbeda (antara budaya dari orang tua dan budaya baru yang mendidik dan membesarkan kehidupan mereka).

1. Zaman transmigrasi awal (proses adaptasi dan transformasi budaya).

Transmigrasi adalah perpindahan jiwa (sekelompok orang) kedaerah baru, transmigrasi (penyebaran penduduk) sebenarnya sudah ada jauh sebelum masa kolonialisme, perpindahan penduduk itu disebut transmigrasi klasik. Istilah transmigrasi menjadi popular ketika pemerintah colonial Hindia-Belanda mencanangkan program transmigrasi sebagai politik etis (politik balas budi). Hal ini dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda yang konon untuk mengurangi kemiskinan di pulau Jawa dan memperbaiki ekonomi mereka yang diberangkatkan sebagai transmigran. Kemudian program transmigrasi tidak lagi dari pulau Jawa saja, tetapi juga dari luar Jawa seperti Bali, Sulawesi, Madura dll. Tetapi dalam jumlah yang relative kecil tidak seperti transmigrasi yang diberangkatkan dari Jawa.

Dari awal mula (generasi pertama) transmigrasi ini sudah terlihat adanya sebuah percampuran penduduk, yaitu penduduk asli dan penduduk pendatang yang memiliki budaya yang berbeda dalam “perekonomiannya”. Percampuran penduduk itu sudah bisa disebut plural yang mengakibatkan adanya suatu konflik antara penduduk asli dan pendatang dan antara penduduk pendatang. Tidak jarang juga dalam proses adaptasi itu ada terjadi perbedaan budaya yang mengakibatkan konflik dan hal itu sangat wajar terjadi dalam perjumpaan antar budaya. Salah satu contoh yang tidak asing lagi yaitu; orang Jawa menyebut orang asli Sumatra dengan nama “Mbelung” ang berarti orang yang tidak mengenal sopan-santun/tata krama. Kemudian sebaliknya orang asli Sumatera menyebut orang perantauan dari Jawa dan yang lainnya sebagai penjajah yang mengusik kehidupan mereka, Konflik kekerasan antar suku. Dan masih banyak lagi stigma-stigma yang kurang baik dari kedua suku yang berbeda untuk saling menjelekkan. Tidak sedikit juga orang transmigran memilih pulang kekampung halamannya yang semula, karena ketidakcocokan dengan perjumpaan-perjumpaan budaya yang terjadi, yang dirasakan kurang mengenakkan, karena dikampung halamannya mereka merasa lebih nyaman.

Dari konflik dan perjumpaan-perjumpaan itulah yang menjadikan adanya transformasi budaya sehingga menjadi sebuah budaya baru tanpa melepas budaya asli mereka (menyadari pra-paham mereka atas percampuran/perbedaan-perbedaan budaya yang terjadi). Ini adalah fenomena yang terjadi dari generasi pertama yang bisa disebut generasi “Bapak” bagi generasi kedua dan generasi “Simbah” bagi generasi ketiga dst.

2. Generasi pasca-transmigrasi.

Generasi pasca-transmigran yang saya maksudkan disini adalah generasi kedua atau anak-anak yang lahir di daerah transmigrasi atau yang akarab disebut “Puja Kesuma (putera Jawa yang lahir di Sumatera)”. Dalam generasi ini banyak terjadi kasus-kasus unik seperti:
1. pencarian identitas budayanya,
2. pergulatan psikis anak-anak “puju kesuma” (suatu harapan/keinginan ketika ia kembali ketanah leluhurnya atau hanaya sekedar berkunjung kepada sanak saudara di tanah Jawa ia ingin ada status “persamaan” dan tidak di nomor duakan sebagai anak-anak transmigrasi),
3. keinginan untuk memahami budaya aslinya (tradisi leluhurnya).

Pergolakan yang dialamai ini adalah akibat dari perjumapaan dengan budaya-budaya lain di tanah perantauan, perjumpaan lintas budaya itu menjadikan suatu budaya baru dalam kehidupan orang transmigrasi dan budaya baru itu adalah yang budaya menjadi budaya asli anak “Puja kesuma”. Anak-anak yang lahir dalam konteks transmigrasi mereka mempunyai 2 unsur budaya yang berbeda;
1. budaya yang berasal dari orang tuanya
2. budaya yang terbentuk dari transformasi budaya yang kini menjadi budaya anak “puja kesuma”.

Pertanyaan terbesar anak puja kesuma yang sering muncul adalah “saya orang mana?”, dalam benak anak transmigran pertanyaan yang seperti ini sangat wajar terjadi dan terkadang juga tidak disadari. Tetapi kebanyakan jawabannya ialah “saya orang sumatera tetapi bapak-ibuku orang jawa”. Hal menarik lainnya ialah kebanyakkan anak “puja kesuma” sudah tidak memahami bahasa Jawa, mereka bisa berbahasa Jawa tapi dalam konteks bahasa sehari-hari (bahasa ngoko dan ngoko halus). Bahasa mereka sudah kurang memahami, apalagi persoalan budaya dan adat istiadat asli Jawa, mereka sudah tidak memahami lagi. Sedikit kemungkinan ada yang masih memahami. Dari hal semacam inilah ketika mereka pulang ke Jawa, menuntut ilmu (kuliah) atau hanya sekedar menjenguk sanak saudara, mereka sering kali merasa bingung dan “rikuh” atas budaya asli Jawa. Mereka merasa menjadi yang nomor dua dan agak sulit mendapat pengakuan sebagai orang Jawa seperti bapak-ibunya dulu.

Suasana yang semacam inilah yang terjadi pada anak-anak yang lahir dari daerah transmigran dan saya juga termasuk anak-anak transmigrasi yang kehilangan budaya asli Jawa dan berganti dengan budaya baru, (budaya akibat adanya transformasi dari budaya-budaya yang berbeda). Saya menilai bahwa saya adalah anak yang berada dalam generasi “magel dalam hal pergolakan budaya”. Inilah penilaian saya dan refleksi saya selama menjadi anak yang lahir dalam budaya baru (transmigran). Sungguh menarik dan unikkan, lahir sebagai anak transmigran yang hidup dalam 2 dunia budaya?




3. Perbandingan Teologis

Sebagai perbandingan teologis saya mengangkat kisah perantauan bangsa Israel ke tanah Mesir. Saya mengangkat kisah ini karena sangat menarik dan hampir menyerupai system transmigrasi klasik. Kisah perantauan Bangsa Israel ke tanah Mesir sebenarnya adalah kisah perpindahan yang dilatar belakangi oleh factor ekonomi (factor peceklik pangan pada zaman Yakub) dan berakhir menjadi perbudakan yang dilakukan oleh Bangsa Mesir. Dapat dibandingkan dalam Kitab Kejadian 37:1-50:26. Perbudakan itu bisa dipahami seperti kerja rodi pada zaman penjajahan Jepang di Indonesia. Karena sudah merasa tidak lagi nyaman, kemudian Bangsa Israel memutuskan kembali kenegri asal mereka yang dipimpin oleh Musa dan pada akhirnya tanah Kanaan menjadi tempat menetap mereka yang disebut-sebut sebagai tanah leluhur mereka dahulu. Sekilas kita bisa melihat pada masa perantauan Bangsa Israel di Mesir ada suatu perbedaan budaya dan perbedaan budaya itulah yang menjadi benturan utama mereka pada mulanya. Contoh yang menonjol ialah masalah perbedaan kepercayaan, Bangsa Israel menganut paham Mono Theis sedangkan orang Mesir menganut paham Poli Theis.

Masa perbudakan Bangsa Israel di tanah Mesir kita bisa memandang dari sisi lain sebagai benturan budaya-budaya klasik pada umumnya. Pada umumnya budaya klasik memiliki pemikiran siapa yang kuat itulah yang berhak untuk memerintah. Kisah perbudakan Bangsa Israel ditanah Mesir dapat dipahami juga sebagai konflik karena adanya percampuran budaya di tanah Mesir. Puncak dari konflik-konflik itu adalah kisah Keluaran sampai dengan kembalinya Bangsa Israel ke tanah leluhurnya.

Dari penyebaran pertama (zaman Yusuf menjadi orang penting di Mesir), orang-orang yang berangkat ke Mesir juga tidak sedikit, karena kebutuhan mempertahankan hidup mereka. Dari orang-orang yang datang ke Mesir mereka mempunya keturunan disana sampai beberapa generasi dan generasi-generasi yang lahir di tanah mesir itu mempunyai dua kebudayaan yang berbeda yaitu budaya dari orang tuannya dan juga budaya Mesir yang membesarkan dan mendidik mereka. Juga sesampainya mereka (generasi ke 4-5) ketanah Kanaan setelah masa keluaran (Exodus), mereka juga kehilangan identitas dan merasa menjadi agak asing dengan budaya di tanah leluhur mereka. Walaupun ada pergeseran budaya yang mereka miliki tetapi mereka tetaplah orang Israel tetapi yang lahir di tanah Mesir ataupun mereka yang lahir di padang pasir (ketika masa keluaran).


Sebuah Refleksi

Pergeseran budaya itu sungguh amat wajar dan pasti akan terjadi pada setiap budaya-budaya di dunia. Karena zaman terus berubah dan budaya manusia juga turut berubah seiring dengan perkembangan zaman. Budaya asli yang semula kuat di pegang oleh para leluhur kini masih ada tetapi banyak terjadi pergeseran pemahaman atau bahkan sudah hilang seiring dengan perjalanan zaman.
Sebenarnya menjadi generasi yang lahir di tanah perantauan yang terjadi silang budaya, tidaklah perlu merasa kecil hati, merasa menjadi yang nomor dua atau yang nomor sekian. Semuanya itu sama saja, hanya seakan-akan jika lahir asli di tanah leluhur, mereka lebih mempunyai derajad yang tinggi daripada mereka yang lahir di tanah perantauan. Itu semata-mata hanyalah stigma buruk saja yang sebenarnya tidak pas. Memang pada mulanya terjadi perpindahan penduduk (transmigrasi), kebanyakan mereka adalah orang yang miskin atau orang yang mempunyai suatu keburukan dalam masyarakat. Mereka mengubah nasib di tanah perantauan dan berusaha merubah citra buruk yang dimilikinya dahulu. Anak-anak yang lahir di tanah transmigran juga mewarisi stigma buruk yang di bawa oleh orang tuannya dahulu , tetapi itu hanyalah sebagian kecil saja. Ini adalah refleksi dari kisah saya sebagai anak transmigran dan juga mewakili kisah teman-teman saya baik teman pada masa kecil, remaja dan sampai saat ini yang sama-sama lahir di tanah sabrang yang memiliki suka-duka yang hampir sama sebagai anak transmigran.






By. Vicky ts






BIODATA

Nama: Vicky Tri Samekto
Tempat dan Tanggal Lahir: Air Sugihan, Kab. Musi Banyu Asin Sumatera Selatan, 27 September 1987
Email/phone: Ken_arok72@rocketmail.com, phone: 085664723623/087838139625
Mahasiswa Teologi STAK MARTURIA 2009/2010 YOGYAKARTA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar