Jumat, 28 Maret 2014

Hasil pertemuan I 2014



Pertemuan I 2014
tempat - Mumu

Diskusi kali ini bertemakan kesehatan, dari hasil obrolan singkat dengan Kharis. Terimakasih untuk Kharis yang menggagas ide diskusi kali ini. Dari obrolan singkat mengingatkan akan suatu artikel yang menjadi dasar diskusi kali ini.
Yang hadir diskusi kali ini (17 Januari 2014)

      1.       Endang N
4. Eigner
      2.       Kristi
5. Kharis
      3.       Yanne
6. Daniel Krismanto

Artikel yang mengawali diskusi hari ini ada dua, yang pertama mengenai rokok, ada suatu diskusi di sagan yang menghadirkan perokok usia tua, sebagai narasumber perokok tua yang sehat. Kedua artikel mengenai orang di suatu tempat yang tidak pernah menyentuh air bersih dan orang itu sehat juga. Dari dua artikel tersebut mengkomunikasikan bahwa mereka hidup bertentangan dengan pandangan umum mengenai sehat namun hidup mereka sehat-sehat saja.

Merokok. Mengapa merokok dikatakan buruk? Merokok menggangu yang tidak merokok, karena kondisi sekarang yang minim ruang, beda dengan jaman dahulu yang masih banyak aktivitas di ruang yang berlebih ventilasi sehingga asap rokok mudah terhembus angin. Sehingga sebagai perokok diharuskan mengendalikan asapnya, terutama di tempat umum dan mengganggu anak kecil. Ditambah menurut penelitian kesehatan, merokok itu tidak sehat.

Namun mengapa ada yang merokok tapi masih sampai hidup sampai sangat tua?Ada yang ketika berhenti merokok, tubuh butuh pelampiasan, pelampiasan dapat berupa ngemil, hal tersebut yang membuat bermasalah dengan kolesterol dan membuat berumur pendek. Ada juga ketika seseorang berhenti total merokok, malah penyakitnya baru muncul. Ada juga yang menghindar dari paparan hal yang dianggap negatif, malah sakit dan ketika periksa kepada dokter, disarankan untuk minum kopi dan merokok.

Di lain hal, ada wacana perokok tidak layak mendapat BPJS karena beli rokok yang bercukai saja mampu, masa berobat harus ikut BPJS. Tapi perlu juga dicermati dalam hal ini cukai rokok telah naik begitu tinggi dengan alasan kesehatan ataupun barang mewah sehingga berdampak menggulung produsen rokok lokal.

Kembali ke pertanyaan, mengapa masih bertahan hidup sampai tua? Kemballi pada kodrat manusia yang selalu hidup beradaptasi. Organ tubuh manusia juga terus berusaha beradaptasi. Ketika sontak keadaan berubah (dari merokok sontak tidak merokok) maka proses adaptasi akan “menyakitkan” karena perubahan dalam tubuh yang drastis. Adaptasi perlu waktu, adaptasi itu perlahan.

Seperti penyu air laut yang akan mati ketika dipelihara di air tawar. Usut-punya usut karena organ penyaring air laut nya tidak berfungsi dan mengganggu organ yang lain sampai semua organ tidak berfungsi dan mati. Berbeda ketika secara perlahan dan bertahap penyu diberikan media air laut yang berangsur kadar garamnya dikurangi. Penyu cenderung lebih dapat bertahan hidup dengan metode ini.

Membahas masalah beradaptasi, tidak jauh dari faktor kebiasaan. Kebiasaan minum air mineral tidak bisa minum air rebusan di rumah dan sebaliknya. Ada yang minum air kemasan malah kembung. Ada yang bisa cepat menyesuaikan diri, ada yang lama. Faktor kebiasaan merupakan proses adaptasi. Ketika keluar dari kebiasaan, butuh penyesuaian baru.

Sama seperti kasus dalam orang yang tidak pernah mau memakai air bersih, tubuh beradaptasi dan bekerja optimal utuk menetralisir “kotor”. Bahkan minum dengan kaleng yang karatan adalah gizi berupa kandungan seng dan besi tidak perlu minum suplemen tambah darah.

Begitu juga bagi masyarakat yang sumber air dari air hujan dan masyarakat di pegunungan kapur. Bak penampung air hujan dalam waktu 1-2 bulan pasti sudah lumutan dan itu untuk konsumsi, lain hal di pegunungan kapur, airnya mengandung kapur, dan masyarakat disana tidak bermasalah dengan batu ginjal.

Dengan begitu masyarakat jaman dahulu pasti sudah mengetahui trik mengatasi keadaan alam yang terjadi di wilayahnya. Air pasti direbus, ketika direbus lumut dan bakteri lain-lain mati. Makan berbagai sayuran yang menetralisir kapur yang berlebih walau kapur juga berfungsi sebagai suplemen kalsium.

Begitupula hal yang dekat dengan kehidupan kita, tentang makanan. Penyajian sate dipadukan dengan bawang merah, jeruk, kobis, tomat dan timunnya. Paduan tersebut merupakan makanan yang saling menetralkan  efek satu sama lain. Bisa jadi juga alasan ibu hamil ngidam mangga muda, karena secara alami tubuh merasakan kebutuhan untuk mengurangi kolesterol. Karena mangga muda bersifat menetralkan kolesterol, dan kata dokter koleseterol tinggi menyebabkan keguguran dan sulit mengandung.

Kemudian ketika gampang kata “sehat” disebut-sebut. Maka kondisi sakit itu sebenarnya yang bagaimana? Ketika masukan ke tubuh jelek atau “kotor” tubuh mengoptimalkan organ dan bisa beradaptasi maka disebut sehat. Ketika terlalu menjaga “kesehatan” dengan menjauhi makanan “jahat” maka bermasalah dengan kesehatan karena terlalu higienis, maka perlu asupan kopi, rokok, supaya sehat. Dengan begitu kondisi sakit yang sebenarnya berupa persoalan ketidakseimbangan dalam tubuh. Ketidak seimbangan membuat penyakit. Dengan begitu penyakit adalah gejala, gejala adanya masalahh mengenai ketidakseimbangan.
Lalu ketika pada zaman dahulu manusia cukup mudah mencapai keseimbangan, mengapa jaman sekarang mudah ditemukan permasalahan mengenai kesehatan?

Zaman dahulu, dengan kearifan lokal, manusia mengungkap keseimbangan dan menjadi tradisi di suatu tempat tertentu. Tradisi tersebut sangat lokal, sehingga bisa jadi tidak bisa diaplikasikan di daerah lain. Ketika alam tidak bisa memberikan padi, alam memberikan sagu atau ketela. Ketika alam penyebabnya, jawaban pasti juga ada dari alam.

Ketika perkembangan tekonologi membawa bencana, terutama dalam bidang kesehatan. Ketika semua serba mudah, namun asupan kita tetap membuat tidak seimbang lagi. Dengan asupan yang sama seharusnya kita dapat bekerja fisik seharian, menimba air, meniup tungku, cari bahan makanan namun kini cenderung untuk minim kegiatan fisik.

Ketika diagnosa menjadi semakin canggih. Teknologi menggantikan peranan keseimbangan. Untuk menyeimbangii teknologi manusia perlu beradaptasi. Teknologi mengungkap, penyakit membahayakan, maka dicari solusinya.

Solusi yang dapat berupa mangga muda, sayur-sayuran, kopi dan lain-lain kini tergantian dengan obat-obatan yang merupakan hasil penyesuaian diri dari kemajuan teknologi. Kearifan lokal semakin ditinggalkan tubuh menyesuaikan diri dengan hal baru.

Hal-hal lama mulai ditinggalkan. Kita berpacu menuju keseimbangan baru. Ketika ada teknologi, dan teknologi menciptakan permasalahan. Permasalahan dijawab dengan teknologi. Teknologi merekayasa keseimbangan, ketika teknologi menjadi patokan, jadi pusat. Ketika teknologi menjadi pusat dan merajai, bahwa ilmu pengetahuan mengenalkan tentang hal yang belum terugkap. Terjadilah standar, terjadilah generalisasi.

Generalisasi sebagai turunan tekologi, berdampak juga. Seperti usaha pemutihan kulit pada manusia tropis, ukuran tubuh ideal dan proses medis. Dengan begitu kita menju keseimbangan baru, keseimbangan rekayasa. Ketika sakit diberikan pil, tablet obat-obatan yang merupakan hasil rekayasa teknologi. Walaupun menurut Timur, rekayasa manusia tetap kalah dengan rekayasa Tuhan. Walau medis seperti ini juga datang dari londo, pekabaran Injil pada jaman penjajahan yang dampak tidak langsungnya adanya rumah sakit dengan standart barat.

Gaya hidup kita terlalu ditentukan oleh medis, seakan-akan penyeimbangnya juga sesuai saran dokter. Padahal tidak semua mengikuti kemajuan teknologi yang ditawarkan. Usur lokal bisa punya metode penyeimbang sendiri karena tidak hidup di budaya tenologi. Bisa jadi karena tidak cocok dengan situasi sosialnya, cara barat berbeda dengan timur.

Maka perlu adanya penelitian mengenai gaya hidup yang tidak ditentukan oleh medis. Penelitian lokal seharusnya lebih kontekstual, kesehatan kontekstual, namun kurang diminati. Dari pakaian saja mengungkap konteksutal, tropis dengan baju ringan-santai, iklim sedang dengan pakaian jas, menyesuaikan kondisi setempat. Lebih dekat dari itu, ikan gereh kranjang untuk konsumsi di kirim ke berbagai tempat  dari jepara, padahal di jepara gereh tidak sebegitu diminati. Hanya masalah lauk berupa ikan asin, sebuah mobil turut memanasi alam ini. Mbok mangan sing ana ning kene wae. Apakah itu ketahanan pangan?

Ketika berbeda barat dan timur, ketika ada masyarakat canggih teknologi dan tidak, maka cara mencapai keseimbangan tidak hanya dari jalan medis-teknologis tentunya.  Ketika alam memiliki jawaban atas masalah dari alam,  kontekstualitas diperlukan untuk mengatasi masalah sumber daya alam dan sosial. Maka keseimbangan ialah mendengar, memperpeka kita sebagai bagian dari alam. Dengan begitu kasih pada alam diperlukan, dengan begitu aksi secara kontekstual dapat dilakukan dan mengerti kebutuhan tubuh kita sebagai bagian dari alam.

Bukan kemudian kita diimbau untuk berolahraga supaya sehat dan sweat namun minumnya pocari sweat yang berupa rekayasa. Atau balas dendam ketika jaman muda hanya bisa makan sayur mbayung, kini bisa beli macam-macam dan tidak peka, tidak mendengar bahwa tubuh kita sendiri perlu kita kasihani sendiri.

Dialog dengan diri sendiri, mengasihi dirisendiri, pencegahan yang menarik menuju keseimbangan dalam hal kesehatan dengan pendekatan lain.

Salam.
Sabtu Pahing


Sabtu, 26 Januari 2013

Hasil Pertemuan I 2013


Pertemuan I 2013
Tempat – ngeban resto

Agama, Jawa dan Pluralisme
Pembicara; Ons Untoro

Yang hadir

  1. Ons Untoro
  2. Ibu Endang,
  3. Samuel HW
  4. Eigner
  5. Pdt. Kristi
  6. Kharis
  7. Imelda
  8. Andreas K
  9. Nanang K
  10. Rizal H
  11. Pdt. Raditya
  12. Eri



Diskusi kali ini Dibuka oleh Pdt. Raditya dimulai dengan perkenalan.

Dibuka dengan Kata-kata dari Ons Untoro:

Dulu pernah ada tahun 80an diskusi kecil-kecilan seperti ini, untuk memberi inspirasi pemikiran berbeda dai  pemikiran yang diberikan di sekolah/kampus. Diskusi yang menarik untuk menambah pengetahuan diluar kampus, terutama referensi bagi yang dosenna kurang bacaan juga perlunya pengetahuan diluar akademis jurusan.

Topik kali ini berdasar tulisan saya di tahun 2000, tulisan itu lebih lanjutnya di spesifikkan pada dialog jawa dan islam. Mengangkat bahwa Jawa tidak pernah habis berdialog dengan agama-agama yang ada sampai sekrang. Walau ada juga kelompok yang ingin memurnikan agama, namun pada akhirnya tidak bisa bertahan dan keluar dari Jawa.

Kutipan baik dari Kiai Sadrach: “Jawa tidak bisa dilupakan dari agama-agama yang datang.”

Ketika ditarik kembali pada jaman Musa, muncul perintah jangan membunuh, berarti sebelumnya telah terjadi banyak pembunuhan dan kekerasan sebagai salah satu cara yang diambil untuk  menyelesaikan masalah. Juga di Jawa setelah Hindu Budha ada banyak perpindahan kekuasaan dengan kekerasan. Sampai yang terakhir pada jaman Mataram (dengan perang). Kekerasan dalam pergantian kekuasaan bukan lah hal baru, sudah lama di sejarah.
Kemudian hal yang penting perbedaan menunjukkan identitas. Yakni ada beberapa pihak yang tidak mau identitas itu timbul. Padahal identitas baru tampak dan diakui karena ada identitas yang lain. Ketika 30 th orde baru, tidak ada identitas yang berani muncul karena diseragamkan. Tidak ada yang berbeda. Pembeda hanya dua, dibedakan berdasar Jawa, non Jawa, Pribumi dan non Pribumi, Islam non Islam, Indo barat, indo timur, sehingga ada definisi/identitas yang lain akan dianggap supersif.  Malah ketika orde baru, etnis yang sudah ada jauh sebelum orde baru, etnis tersebut sembunyi karena tidak dianggap sebgai potensi tapi sebagai masalah. Kemudian baru Gusdur bisa melihat bahwa perbedaan itu potensi untuk di manage menjadi sumberdaya.
Kelompok selain yang dominan tidak mau berbeda, maunya jalan sesuai  keinginan yang dominan yang seolah-olah berjalan harmoni.  Bahwa yang harusnya dicari adalah walau berbeda masing-masing tetap menghormati dan bukan berarti berbeda itu adalah musuhan. Bangsa ini susah untuk menghargai keberbedaan. Baik bila untuk menghormati yang berbeda dipikirkan ‘mungkin suatu saat kita bertemu’, (kalau percaya bumi itu bulat suatau saaat pasti bertemu) lalu kemudian dilanjut dirumuskan pertemuannya dimana?
Hingga pada akhirnya ketemu pada nilai kemanusiaan, dan mencapai permenungan ketika agama di lawan, karena inti agama adl kemanusiaan. Pernah ada diskusi tentang agama itu untuk manusia atau manusia untuk agama. Ons:  tidak bisa dibedakan, sepeti penari dan gerak, agama tidak ada kalau tidak ada manusia. Tari gak bisa kalau ga ada gerak.

Pernah di suatu tempat, ada dialog, di Sikep. Bahwa Agama bagi orang Sikep itu tampak dan sembahyang itu ada saksinya. Jadi bersetubuh bagi orang Sikep itu sembahyang. Sembhayng itu saksinya istrinya. Juga disitu ketika mandi tanpa kamarmandi, sumur untuk pemandian, jadi siapa yang mandi telanjang di situ tidak akan dianggap tabu. Malah menjadi sebagai identitas mereka, bahwa istri hanya istri dirumah untuk sembahyang tidak berpikir lain-lain walau berbeda jenis kelamin mandi bersamaan. Sehingga pemikiran mereka tidak kemudian porno. Dan dari dialog di Sikep itu kemudian muncul bahwa akhirnya pemikiran-pemikiran yang tidak manusiawi itu yg perlu dibuang, hingga bisa memusatkan pada sembahyang.
                Kemudian tentang masalah Jawane ilang? Anak muda tidak bisa ngomong jawa. Di kraton, anak muda disana pun juga ada perubahan. Ketika ada perubahan yg besar mendorong, itu diterima jawa. Karena tidak selalu yang gak bisa berbahasa jawa itu jawa. Lagi orang luar negri bhs jawanya mlipis tp apa itu jawa? Bulem tentu yg bisa bhs jawa itu jawa.
Juga bukan soal jumlah (dominan), tapi bagaimana jawa bisa menerima berbagai nilai, namun tidak hilang, identias jawa. Dan identitas jawa ada karena ada yg lain. Kalau semua satu berarti semua ini tidak punya perspektif lain. Identitas ini ada dalam keberagaman. Jadi ketika saat itu MUI tidak boleh ada pluralisme di indonesia. Berarti cara didiknya yang tidak didikkan keberagaman.

Kalau setiap orang berkapasitas bahwa pemikiran itu bisa berkembang, bukan berarti ketika ada dialog dengan orang yang lebih senior, yang muda disalahkan. Tapi pengalaman lebih menentukan. Melihat sesuatu bisa lebih jauh (pengalaman batin-bacaan-gaul-referensi), perspektif bukan soal baik buruk namun jauh dekat, kalau jauh bisa memperkaya yang lain. Masalahnya ketika yang deket tidak mau melihat yang jauh. Dan yang jauh merendahkan yang dekat...

Pandangan lebih jauh. Yang jauh memberi tahu yang dekat,  Yang dekat boleh berhenti atau juga terus melanjutkan lebih jauh.

Maka kita tambah pengetahuan dan menjauhkan pandangnan kita , dalam diskusi ini.

Tanggapan dan Diskusi
 Kemudian perspektif yang dilihat adalah tidak mengabaikan yang lain. Meski di jawa praktik-praktik pengibaran identitas pasti ada kekerasan. Ketika islam masuk dengan kendaraan kekeraasan dan sampai sekarang, kristen masuk jg pakai kekerasan hingga jamannya misionaris sekarang ini dengan pemikiran “kita harus mengkristenkan semuanya”, ini juga slah satu ide menghilangkan identitas. Diluar kekerasan itu ternyata Jawa mengajarkan apapun diterima, dari yg animisme dinamisme, hindhu, budha, diperbolehkan semua meninggalkan prasastinya, juga islam, kristen.

Bahkan menjual kekuasaan dan negara itu sudah dari dulu ada. Bukan jawanya yg menjual tapi keinginan mendirikan identitas dari satu identitas yang ingin mendominasi. Dan pada Bahwa jawa sudah mengajarkan bgaimana mengibarkan identitas, carnya.

Tambahan ada 2 kejahatan, yg berujung kematian, tataran erotpa, galileo—mengatakandunia itu bulat.
Jwa- ketika diungkapakan cara beragama yg tidak harus seperti yg ada. tulisan abdul munir

Malah seringkali agma melanggengkan kekerasan.

Juga di agama kristen yg membawa hal berbeda = mati. Ada konsekuensi yg diterima ketika memperjuangkan perbedaan.  Agar pemikiran diterima. Disnjung nantinya atau tumbal ehe..

Mari kita mulai identitas itu ada di banyak hal. Ini dilihat dari cara jawa melihat.

Untuk suatu kasus yang sering terjadi seperti bentrok pada keyakinan agama dan tradisi budaya. Seperti contoh bagi orang Kristen di suatu jemaat melakukan sembahyangan peringatan kematian dan yang menyelenggarakan masih galau tentang tindakannya itu berdosa atau tidak. Karena merasa budaya tradisi peringtan kematian itu kental, dan tidak bisa dipisahkan, disisi lain takut berdosa karena masalah agama bilamana ternyata dilarang. Berat menanggalkan keJawaannya tapi juga ketakutan akan dosa-agama.
                Kegalauan itu kemudian ditangkap di Gereja (GKJ) dan membungkus peringatan nyewu, 100 hari, mendhak sebagai peringatan sekadar memperingati. Berbeda seperti pada Katholik yang lebih bisa menerima tradis Jawa tersebut. Juga berbeda dengan di Jawa yang ukurannya pas atau belum, agama lebih menilai dengan salah dan benar, dosa dan tidak dosa. Terutama di GKJ, tidak semua bisa menerima. Di suatu tempat yang sudah terbiasa dengan hal itu oke oke saja melakukan nyewu sedangkan di gereja yang westernnya kuat cenderung ditolak.
                Tradisi memperingati peristiwa kematian ini ada pada budaya Jawa, bahkan pada awalnya di agama Islam belum ada. Namun oleh islam dikembangkan sebagai potensi Syiar dakwah, dan kemudian ketika Kristen masuk merasa tidak perlu menggunakan cara yang sama dengan Islam, tapi memilih menggunakan cara lain. Namun dengan jalan lain itu kemudian di saat kini dipertanyakan lagi, tentang pemaknaannya, apakah jalan lain itu bermakna atau tidak.

Untuk di Indonesia, tradisi tentang kematian ini diakui dan dipakai oleh NU.

Di tradisi Jawa orang hidup itu percaya terhadap sesuatu yang tidak kelihatan, hingga muncul tradisi tentang kematian. Bahkan peringatan tentang kematian tidak hanya sampai pada 1000 hari saja, tapi tiap nyadran dilakukan. Dan kepercayaan ini tidak terbatas pada wujud, tapi suatu yang dikenal.  Seperti Paskah, itu kan juga memperingati kematian. Bahwa pada paskah juga ada sinkronisasi simbol-simbol Jawa juga. Dan untuk urusan dosa apa tidak itu urusan pribadi dengan Tuhan.

 Jadi bila sudah merayakan itu dan bimbang, maka perlu dijelaskan bahwa itu bukan perbuatan dosa. Itu masalah ketidak yakinan pada lingkungan, yang sudah dikenalkan sejak kecil kemudian ditanggalkan. Menakuti respon masyarakatnya. Namun apabila baik pada komunitas/lingkungan yang ditinggalkan dan yang di ikuti maka yang terjadi juga akan baik.

Sprt ktka sy di malang, ttg pindah agama. Diminta untuk menengahi. Istrinya ditanyai. Istrinya katholik kl sembahayng pakai caranya (jilababdll) wkt sembayang yg dipakai bapa kami slmaria. Itu kan soal cara, tp yg penting konten esensinyya. Yg normatif kan tutup mata, liapt tangan. Hehe.. :3 t da aturan mainnya ketika di komuniatas. Seperti ketika di mana. Minta jumatan. Di gereja dg kiblat, bukan altar, hny soal tempat dnn cara. Menghormati bagaimananya toh. Harusny yg diajarkan substansi nya bukan dosa gak dosa, tp tiap kita yakin dsa udah di tebus ya yakin apa yg dilakukan.

Ketika sekolah. Tanya kiamat itu bgmn, dijawab adanya perang, gak toleran dll.. lah kl gitu malah merdeka kok dijajah gitu. Ketika doa mau babtis, gak hafal, doa bisa lupa, tp keyakinan tidk bisa hilang. Intinya.

Kebimbangan belum menyatunya nilai lama dg nilai baru yg belum menyatu jd nilai yg baru.

Bahkan ketika asumsi dasar suatu masyarakat yang sudah terbentuk dan dianggap benar, hal ini menimbulkan rasa aneh dan baru ketika konflik-konflik seperti itu hadir.
Seperti di Karangdowo yang Gereja tidak masalah bila ada acara dengan tradisi Jawa, dan malah masyarakat bertanya-tanya ketika Gereja melakukan kegiatannya berdasar tradisi Jawa. Pikir masyarakat gereja kok ikut-ikutan. Beda hal dengan Gereja Gondokusuman, yang eropah sekali. Bahkan pada saatnya, sunat saja bisa diperdi .

Namun ketika Jawa terus berdilog dan sulit didefinisikan ciri orang Jawa namun mudah dikenali,  ketika Tahun baru rombongan Kraton berkunjung ke gereja-gerja malah ditanggpi bahwa adalah suatu kemenangan Kristen, bisa membawa Kraton dan Kyai masuk gereja. Ketika Jawa masih mau terus berdialog berarti Jawa berani konfrontasi dengan dunia luar untuk menunjukkan dialognya. Namun dlam dialog tidak ada kalah-menang. Ketika Kristen menganggap kemenangan, maka cara berpikirnya yang salah. Dialog adanya dari tidak tau, mau tau, menjadi tahu. Tidak pas bila berpikir menang kalah, dan cara berpikir dan menyikapi seperti itu malah membikin konflik. Konsep dialong menang kalah adalah cara pemikiran politis. Datang/sowan dinaggap kalah, tinggalah orde baru, ketika Suharto datang, berarti komunitas itu diakui. Namun esensinya bukan itu, dialog itu saling menguatkan, mengisi. Dan secara kontinyu dilakukan, hidup akan lebih baik.

Walaupun kekerasan suda ada dari jaman dulu, perlu adnaya jawaban yg baru pula menanggapi itu. krn jaman baru, tp masalah lama perlu solusi baru.

Jawa bukan? Atau jangan jangan oran lain? Kelahiran fisik, sosok fisik jawa namun kelahiran itu adala proses dari gen-gen bertumpuk yang sudah sulit untuk ditelusur hingga menghasilkan yang disebut Jawa. Dan perbedaan gen yang bercampur itu membentuk harmoni sendiri. Makro lagi, alam membentuk harmoninya sendiri. Dan bukannya kemudian memelih salahh satu gen mana yang akan dianut, tapi memunculkan eksistensi baru dari perbedaan didalamnya. Berani mengatakan Indonesia diatas perbedaan yang ada. bahwa identitasnya bisa disebut Indonesia adalah dengan keragamannya itu bisa dikatakan indonesia.

Identitas-eksistensi, mengenali bahwa identitas itu tidak tunggal. Dimuali dari alamat, Indonesia, provinsi mana, kecamatan, kelurahan, dll. Dari Indoensia, Indonesia Jawa, Jawa Kristen, lagi Jawa Kristen aliran apa. Sehingga mencari yang murni, asli itu sudah tidak lagi bisa dilacak dan basi.


Namun ketika kepentingan politik masuk, ejekan-ejekan polik dapat muncul, pemanfaatan golongan tertenu untuk kemenganan kepentingan politik. Seperti jaman orde baru, ejekan bahwa Hanya Jawa yang bisa memerintah. Non Jawa, tionghoa bahkan sulit untuk jadi PNS. Sekarang wakil gubernur DKI bisa tionghoa, kristen pula. Dari undang-undang daerah yang unik-unik dan purba tidak relevan pada jaman sekarang, hingga dibalik pemanfaatan orang yang masih berpikiran purba (memboncengi) untuk kepentingan politik yang lain.

Suatu nama juga bermakna luas, seperti gereja. Gereja yang adalah ruang yang bisa dihadiri oleh orang banyak. Seperti Jogja, yang didalamnya ada banyak identitas. Bila nama itu adalah ruang, maka tidak perlu merujuk pada eropah sana. Karena untuk nama kosa kata kita ini melimpah, dari sansekerta hingga bahasa Indonesia gaul. Untuk nama yang (atau ganti menjadi)  asing sebenarnya malah mengasingkan diri dari lingkungan. Karena akan lebih cenderung menjadi sebuah gengsi.

Untuk semua perbedaan itu, dan dilihat dari sejarahnya bahwa Jawa mataram sangat kental akan kekerasan dalam perpindahan kekuasaan. Terlihat bahwa di Jawa adalah kurang pada pemberdayaan potensi manajemen perbedaan. Ketika perbedaan dilihat sebagai alat perpecahan, seharusnya dididik untuk melihat perbedaan adalah potensi untuk dimanajemen sebagai kelebihan dan dipersatukan. Dan menjadi kekuatan lebih, sebagai nilai jual atau nilai tawar bangsa.

Mencoba melakukan perubahan bisa sebagai salah satu cara. Dengan melihat kedepan bahwa akan menghasilkan sesuatu yang baik. Namun dengan fakta bahwa masih ada orang yang lama di jaman ini, pembicaraan ini menjadi bukan hal yang mudah. Karena kejadiannya saja presiden yang pluralis saja lengser. Dan itu tantangannya sekarang. Bagi yang pluralis dan menggebu, malah bisa masuk menjadi pluralis eksklusif.

Bahwa sebagai pluralis, seharusnya juga mengenal kondisi, ketakutan-ketakutan bagi yang menginginkan kepentingan lain (politik dll) adalah benar, bahwa mereka ketakutan dengan plural dan mereka membentengi diri dan memeprsiapkan untuk melawan. Ketika kita tidak tahu bahwa mereka juga seperti itu, dialog akan kurang efisien dan malah bisa terpental kembali. Namun dengan mau mengenal mereka, dan menyentuh titik yang tepat pada mereka, maka dialog juga akan bisa dilaksanakan. Dialog, bukan cari menang kalah.

Sebagai anak muda, kita harus bisa memandang visiioner, 30 tahun kedepan bahkan lebih. Garis besar-garis besar kondisi dan pergerakannya. Sehingga bagi yang tidak mau mengikuti akan ketinggalan dan yang mau ikut akan dibantu untuk terus maju. Kiblat kehidupan adala pemuda. Bagi orang lama yang tidak mu lengser itu juga ketakutan tersendiri bagi orang itu bahwa merasa perannya hilang – mabok jabatan.

Sehingga ketika kita mau untuk melakukan diskontinuitas kita harus tetap mengenal yang kontinuitas dahulu dan kemudian baru bisa melompat. Diskontinuitas bahwa mau tidak mau untuk menggulingkan orang lama, adalah dengan disundul. Supaya mengguling. Bukan dikepras (ditebang) karena akan bertunas lagi, namun digulingkan. Dengan begitu tidak ada pondasi lagi untuk melanjutkan orang lama. Dan itu investasi budaya. Dan investasi budaya paling cepat 20tahun baru bisa dilihat efeknya.

Diskontinuitas dengan persiapan. Sehingga ketika berdialog dengan yang kontinuitas, bisa menghasilkan yang lebih. Bisa juga dengan berkunjung balik ke masjid / kraton ketika mereka mengadakan event-nya sendiri.
Perbedaan cara perjuangan ini juga oleh pemuda. Seperti pada perjuangan sebelum 1900 adalah cenderung perang. Yang sangat bersemangat perang adalah pemuda. Sehingga perjuangan lepas penjajahan adalah dengan perang. Kemudian diketemukan bahwa itu kurang efisien dan kemudian dikenal perjuangan diplomasi, itupun dicetuskan oleh pemuda juga. Ketika pelengseran orde baru, pemuda juga kembali yang mempelopori dan mengeksekusi. Kini, ketika musuh adalah bangsa sendiri, bangsa yang tidak mendukung pluralitas, maka haruslah pemuda juga yang mempunyai semangat dan mengeksekusinya untuk menjadi yang lebih baik, dan hal pertama yang perlu dilakukan adalah wani, berani.


Ratu Kidul
Panembahan Senopati ingin melakukan pembangunan pelabuhan di pantai selatan, kemudian diketemukan bahwa ombak di pantai selatan tidak bisa ditaklukan dan tidak mungkin menjadi pelabuhan seperti di pantai utara Jawa. Maka Senopati marah, dan kemudian Ratu Kidul keluar dan menemui. Mereka bercakap dan kemudian menikah dengan Senopati dan seluruh keturunannya juga.

Cerita itu memperlihatkan bahwa menaklukan hal yang tidak bisa di apa-apakan (laut kidul) maka kemudian ditaklukannya secara ilusi. Dan mulai itu dipatenkan Senopati. Sebagai legitimasi diri dan terlihat muatan-muatan selain budaya ada disitu, dan konsep ritual dimulai sejak itui menyampaikan itu, dan menikah, dan selueruh turannannya juga. Di abagaimana menaklukan yg ga bisa diapa2in. seerti laut sutara yg bisa ditaklukan untuk datang. Menaklukan laut secara ilusi. Mulai dipatenkan senopati itu.

Sehingga kita harus bisa mempunyai kesadaran baru. Dengan bisa melihat bahwa pada mulanya adalah kejadian yang dialami Senopati dan dimasuki kepentingannya. Maka ketika kesana tanpa ritual ataupun apa, dibilang terkutuk atau aa sudah tidak jadi malahah lagi. Karena kesadaran sejarah bahwa legenda Laut Selatan yang ganas bermula pada ketidakmampuan Senopati menaklukkan Laut Selatan. Seperti cerita Superman yang dibbuat untuk menutupi kekurangan Amerika di Perang Vietnam.

-dalam rangka mendiskontinuitas dg budaya yg gak baik.-

Bahan diskusi I 2013


Pertemuan I 2013
Tempat – ngeban resto

Agama, Jawa dan Pluralisme
Pembicara; Ons Untoro

Untuk diskusi kali ini bahan diskusi disediakan

Evaluasi Hasil Pertemuan I 2013


Hasil Evaluasi Pertemuan I 2013
Tempat – ngeban resto

Agama, Jawa dan Pluralisme
Pembicara; Ons Untoro

Yang hadir

  1. Ons Untoro
  2. Ibu Endang,
  3. Samuel HW
  4. Eigner
  5. Pdt. Kristi
  6. Kharis
  7. Imelda
  8. Andreas K
  9. Nanang K
  10. Rizal H
  11. Pdt. Raditya
  12. Eri

Evaluasi
Setelah diskusi diadakan evaluasi untuk kegiatan Sabtu Pahing yang telah terlaksana selama ini.
1.        Mengubah waktu Jam Diskusi . Mematok waktu malam, bahwa ketika dicoba jam 7 mulai diskusi, dan jam setengah 8 bisa dimulai,..
Karena segmen Sabtu Pahing berbeda dengan Jumat Legen.
2.       Bisa dimungkinan tidak harus tepat Sabtu Pahing (lihat ide awal)
3.       Publikasi belum terendus orang banyak, gunakan media Twitter untuk update lebih cepat
4.       Promosikan Blog lewat Twitter
5.       Tempat pasti diadakan. Jadi ketka tidak dapat tempat dipastikan acara berlangsung di Muja-Muju
6.       Bagi yagn ngunduh dipersilakan / keinginan untukk ditempati diskusi
7.       Celengan untuk dana ekskursi
a.       Diskusi di suatu tempat seperti yang pernah diagendakan pada th 2012
8.       Iuran untuk ganti fotokopi makalah
9.       Sabtu Pahingan selanjutnya tanggal 1 Februari 2013
a.       Untuk karang dowo mencoba mengkontak pembicara dg themanya
b.      Namun bila pertemuan selanjutnya diadakan di karang dowo, tanggal yang bisa adalah tanggal 3 Februari, Siang atau Malam

Selasa, 08 Januari 2013

2013


Awal

Di tahun 2013 ini akan digiatkan kembali kelompok diskusi Sabtu Pahingan ini. Terutama setelah pergantian pengurus dari kepengurusan lama ke baru tertanggal 14 September 2012 diharapkan muda-muda lebih bergerak sebagai motor utama komunitas ini. Maka perlunya diadakan pertemuan secepat mungkin untuk menyambung yang telah dicapai di 2012 ke 2013 ini sebagai evaluasi dan rencana yang akan datang.
Di tahun 2013 ini diharapkan juga kelompok ini tidak hanya terbatas pada diskusi namun juga bisa menghasilkan suatu produk atau kegiatan lain. Semisal pembukuan hasil diskusi, atau munculnya kegiatan konkrit Sepeda Bareng Setu Paingan.

Untuk itu akan diadakan Sabtu Pahingan pada tanggal 18 Januari 2013 jam 19.00 sebagai pertemuan pertama di tahun ini. Untuk tempat masih menyusul, dan secepat mungkin bisa di tetapkan. Agenda pertemuan yang akan dilaksanakan berupa Kumpul, evaluasi, dan diskusi. Dengan ini memohon Ons Untoro sebagai pemakalah dan pembicara pada diskusi Sabtu Pahing kali ini.

Minggu, 03 Juni 2012

Bahan diskusi 1 Juni 2012




bahan diskusi in bisa juga di download di sini

Diskusi 1 Juni 2012


Sabtu Pahingan 1 Juni 2012

Yang hadir:
1.       Pdt. Raditya
2.       Eigner
3.       Rizal
4.       Eri
5.       Endang.N
6.       Pdt. Kristi
7.       Daniel
8.       Pdt. Tatok
9.       Charlotte

d    dengan tema:
Kodrat Manusia dibandingkan dengan Malaikat