Jumat, 23 Maret 2012

Bahan Diskusi Sabtu pahing Pertemuan II

Arsitektur Jawa sebagai ungkapan spiritualitas masyarakat Jawa

Aristektur Jawa, salah satu arsitektur di wilayah nusantara, tak lepas juga dari arsitektur nusantara. Arsitektur nusantara, banyak yang menghubungkan arsitektur nusantara berasal dari budaya, namun bila membahas arsitektur seharusnya asalnya/dasarnya pun harus yang bersifat arsitektural. Jika arsitektur berasal dari budaya, seharusnya arsitektur ilmu turunan dari budaya tapi tidak, arsitektur ilmu sendiri.
Salah satu yang mendasari arsitektur nusantara adalah bahwa manusia butuh ruang berteduh, bukan rruang berlindung. Rumah sebagai tempat berteduh bukan sebagai tempat berlindung. Karena yyang dibutuhkan manusia adalah tidak kehujanan dan kepanasan, bukan perlindungan dari serangan, salju, binantang.
Hal lain yang mendasari adalah gempa, lokasi nusantara yang berada di tempat rawan gempa, ring of fire, membuat nenek  moyang sadar bahwa gempa itu bergoyang, maka sambungan sambungan yang dibuat dengan peralatan non presisi jaman dahulu membuat kondisi bangunan stabil di posisi tak tegak, yang akan bergoyang juga ketika gempa, membuat bangunan yang tidak solid lebih tahan gempa. Juga mengetahui asal gempa adalah dari bumi maka bangunan diangkat dari tanah, yang berarti tidak langsung menyentuh tanah-> panging, umpak( pondasi titik)
Bahan yang digunakan adalah kayu, dengan sambungan kayu, sebgai bahan yang berlimpah di nusantara.
Lalu apa hubungannya dengan sisi spiritual masyarakat?
Secara tidak langsung masyarakat/manusia jaman dulu mengenal Tuhan yang belum terdefinisikan. Hanya mengerti bahwa ada sosok yang entah diantahberantah yang empunya kekuatan super power melebihi segalanya di muka bumi, sosok yang menghentak mengadakan petir, air hujan badai dan lainnya, massif diluar skala manusia. Maka dari itu manusia mencoba untuk mendekatkan diri kepada sang super power  tersebut  karena tahu bahwa manusia di bumi adalah sosok kecil yang juga salahsatu diciptakan oleh sang super power. Sebagai ciptaaNya maka perlu untuk melakukan pendekatan diri. Karena sang Super Power tak terjamah maka dibuat symbol untuk mendekatkan, lalu apa symbol yang pantas? Massif, skala tak manusiawi, tak terjangkau namun dekat, yang paling mendeskripsikan adalah GUNUNG. Benuk gunung kemudian diambil untuk mendeskripsikan adanya hubungan manusia-Sang Super Power.
Karena merasa gunung sebagai symbol dianggap terlalu massif dan masih berjarak, maka kemudian manusia mencari symbol lain yang dirasa cukup dekat namun mewakili cirri sang Super Power. Setelah pencarian diketemukanlah POHON BESAR sebagai symbol selanjutnya yang mencirikan namun juga lebih dekat pada manusia. Perkembangannya selanjutnya PHON dirasa belum cukup ringkas sebagai symbol dan belum cukup dekat, maka diambil daripohon, apa yang inti dari pohon? Ya, batang utama. Phon disuport hidup dan tegak berdiri oleh batang utama. Maka diambil kemudian batang utama sebagai simol yang mendeskripsikan SuperPower, yang kemudian dinamai TUGU. Yang bentuknya tiang tegak lurus ke atas.
Lalu diketahuilah oleh kita arsitektur nusantara, dan spiritualaitas masyarakat.
Karena sudahh diketahui maka kita gabungkan keduanya.
Dalam membngun rumah di jawa ada suatu hal yang tidak terlupakan yaitu, ungkapan syukur dan harapan yang di lakukan selama, perencanaan, pembangunan, dan setelah selesai. Berupa sesaji, bancaan dllàkenduri.
Seperti pada penempatan atap diberi kehormatan bagi yang empunya rumah untuk menempatkan sesaji di rangka atap. Selain ujud spiritualitas, juga ujud bahwa pekerja menunjukkan kebolehannya telah membuat rangka atap yang kokoh sehingga tak main-main yang disuruh mencoba adalah yang empunya rumah.
Sesaji: uduk ingkung, arak-arakan; jadah tuwa enom jajan pasar, ampo, gamping, sembarang kalir di pasar, nasi gilingan, nasi tumpeng, nasi liwet, gilinga 1gede, 18 cilik. Sambel gepeng. Kulupan. Kirim doa. Ambeng 2buah, + olahan?
Arsitektur nusantara->jawa, cenderung mementingakan atap karena yang dibutuhkan utamanya adalah berteduh. Karena dianggap kebutuhan utamanya maka diberi suatu kehormatan, ujud atap sebgai perwujudan gunung. Atap diubuat terjal supaya air mengalir lancar cepat di iklim tropis basah tergenang air sedikut akan gampang jamuran pada kayu di atap.
Rumah Jawa
Terdapat –Sanggeng pe, limas an, kampong, joglo;  penamaan berdasar atap.
Susunan rumah jawa lengkap- pendhapa, pringgitan, dalem, gandhok, dhapur dll.
Susunan yang terlihat jelas pendhapa-pringgitan-dalem
Pendhapa; bersifat umum, terbuka
Pringgitan: semi privat
Dalem: privat.

Masyarakat jawa-agraris, berbasic pertanian.  Menhormati sumber pangan sbg umber kehidupan, asal sumber pangan bisa tumbuh adalah kesuburan, maka dibuat symbol untuk menghormati kesuburan, sumber kehidupan;salah satu Super Power; Dewi Sri.
Di dalam Dalem, terdapat 3 senthong, ruangan yang dikhususkan. Senthong tengah dikhususkan untuk dewi sri. Dewi sri atau SANG TANI (wastu citra) shingga dalem, yang empunya rumah aslinya adalah SANG TANI, dan petani adalah baying-bayang dari SANG TANI yang berarti kelakuannya pun adalah ceerminan dari SANG TANI.  Petani tidur di gandhok, bukan di dalem.

Dalem, sebagai yang tidak ditinggali tapi dikhususkan untuk Dewi Sri, maka juga dalem yang berarti ‘aku’ namun ditempati Dewi Sri adalah Manunggaling Kawula Gusti.

Pendhapa pringgitan dalem,
Hubungan vertical horizontal manusia akan sesama dan Super Power.
Pendhapa sebagai tempat yang lebih umum tempat masyakrakat bisa berinteraksi ketika ada acara diadakan di rumah itu, hubungan horizontal, social manusia dan sesama.
Dalem, hubungan vertical manusia dengan SuperPower-Dewi Sri
Pringgitan, tempat semi privat antara pendhapa dan dalem. Tempat melinhat RINGGIT, ujud wayang sebenarnya.
Dalam pertunjukan wayang, masyarakat melihat dari pendhopo, melihat kea rah pringgitan, sedangkan yang empunya rumah berada di dalem, tapi tidak di senthong untuk melihat wayang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar